Jumat, 02 Mei 2008

KARTINI

KARTINI, PEJUANG PENDIDIKAN DAN DEMOKRASI
“…coba katakan, Ni, kau tak pernah ceritakan padaku, kau mau jadi apa kelak?” sepasang mata yang besar menatap pembicara itu dengan herannya.
“ayo katakanlah” Si Jawa itu menggelengkan kepala dan menjawab pendek: “ Tak tahu!”. Tidak, memang ia tidak tahu, tak pernah ia memikirkannya, ia masih sangat mudanya dan tiada mempedulikan sesuatupun…”
Berawal dari percakapannya dengan gadis kulit putih, kawannya di sekolah rendah Belanda dahulu, Letsy. Ni, gadis berkulit cokelat yang masih bocah kala itu. Itulah penggalan surat yang ditulis kepada Nyonya Abendanon, sebuah percakapan yang menjadi pemacu semangat perjuangannya yang tak kenal lelah kelak. Raden Ajeng Kartini, atau Ni, dalam surat yang ditulisnya pada agustus 1900. Lahir 21 April 1879 di Jepara dari pasangan RM. Adipati Sosroningrat dan ngasirah.
Seorang keturunan dan penentang feodalisme, serta tumbuh dalm lingkungan yang sama. Feodal, sebuah kenyataan tradisi yang ia gugat dalam-dalam. Mengapa ia menggugat? Satu kenyataan yang begitu menentang arus, ningrat atas pribumi ingin mengubah tardisi feodal padahal ia hidup di antara megalomania.
“ orang-orang Belanda itu menertawakan dan mengejek kebodohan kami, tapi kami berusaha maju, kemudian mereka mengambil sikap menantang terhadap kami. Aduhai! Betapa banyaknya duka cita dahulu semasa masih kanak-kanak di sekolah; para guru kami dan banyak di antara kawan-kawan sekolah kami mengambil sikap permusuhan terhadap kami. Tapi memang tidak semua guru dan murid membneci kami. Banyak juga yang mengenal kami dan menyayangi kami, sam halnya murid-murid lain. Kebanyakan guru itu tidak rela memberikan angka tertinggi pada ank Jawa, sekalipun itu berhak menerimanya”
Pendidikan! Ya, pendidikan yang membuat ia mengubah tradisi, tepatnya diskriminasi pendidikan, seperti surat yang di tulis pada sahabat penanya, Estelle Zeehendelaar tersebut.
Memang pada masa itu gadis Jawa, Ningrat atau rakyat rendah sangat sulit untuk mengikuti pendidikan di sekolah karena sebuah tradisi. Seperti tulisannya berikut ini;
“ kasihan benar orang-orangtua yang bernasib buruk mempunyai anak-anak perempuan seperti kami. Kami berharap dan berdo’a, panjanglah usianya hendaknya dan semoga kelak mereka bangga kepada kami, sekalipun tiada kan berjalan di bawah payung keemasan yang berkilauan”
Tradisi diskriminasi pendidikan, membuat Kartini berjuang tanpa lelah. Ia ingin mengubah tradisi itu dengan pendidikan dan berjuang melalui pendidikan pula. Tapi apa daya pada saat usia 12,5 tahun ayah nya manarik ia dari sekolah dan menjalani pingitan. Namun perjuangan yang tak mengenal lelah, meski dalm “kurungan” ia tetap belajar dengan membaca majalah-majalah terbitan Belanda dan sesekali berdiskusi dengan ayah dan abangnya, Sosrokartono.
Semasa dalam kurungan ia begitu mempelajari dan mengenal adik-adiknya, yang setelah lama hidup berdampingan tapi terasa asing. Disinilah awal pertemuan dari oerassan kebebasan antara Kartini dan dua adiknya, Kardinah dan Rukmini. Tiga jiwa saudari ini lalu terkenal dengan istilah tiga serangkai. tiga jiwa yang begitu semangaat napas demokrasi yang lama didambakan.
Kartini begitu merasakan para pribumi yang hidupnya begitu miris, dan ia sangat bangga bila disebut bersama rakyatnya, meski hidup terpisah dengan mereka tapi hatinya berada dengan mereka dan jantungnya berdebar untuk mereka begitupun pikirannya yang diperas untuk mereka. seperti terungkap dalam suratnya kepada Estelle Zeehandelaar, 17 Mei 1902;
“ disebut bersama dengan rakyatku; dengnannyalah dia akan berad buat selama-lamanya! Aku sagat bangga, Stella, disebut dengan satu nafas dengan rakyatku “
Kutipan surat di atas bukanlah satu-satunya ungkapan perasaan cinta Kartini satu-satunya. Banyak kesaksian-kesaksian yang menyatkan rasa cinta yang begitu hebat kepada rakyatnya meski dalam tradisi yang begitu keras, membuat ia memang begitu sulit baginya untuk mengenal banyak rakyatnya. Tapi cinta yang begitu kuat membuat ia rela menderita dan sangat mengahargai rakyatnya.
Kartini pejuang Pendidikan dan Demokrasi Indonesia yang tak mengenal lelah dan begitu gigih dalam cita-citanya. Pendidikan, ia berjuang melawan tradisi diskriminasi pendidikan agar pendidikan yang begitu penting bisa dirasakan tanpa perbedaan apapun. Demokrasi, persamaan hak bukan berdasarkan warna kulit atau keturunan yang begitu didambakannya dalam perjuangannya.
tulah Raden Ajeng Kartini, seorang pejuang Pendidikan dan Demokrasi Indonesia, namanya begitu harum sampai kini. Putri bangsa, putri yang sejati, wanita yang begitu gigih demi kemerdekaan Indonesia yang sangat ia cita-citakan. Memang benar sebuah penggalan lirik ini “ ibu kita Kartini, putri sejati, harum namnaya…”